Welcome

"You are what you think. You are what you go for. You are what you do. Anda adalah apa yang anda pikir, anda adalah kemana anda pergi, anda adalah apa yang anda lakukan."

Kamis, 05 Januari 2012

Al-Qur’an sejatinya telah tersimpan didalam dada orang-orang islam, ketika segelintir orang -yang memusuhi Islam- hendak menghancurkan dan melenyapkan Islam dengan berbagai cara dan argumen, seketika itu pula al-Qur’an menepis dan menjawab kekeliruan-kekeliruan orang tersebut. Sebagai contoh, pada awal perkembangan Islam banyak yang menentang dan meragukan al-Qur’an itu sebgai wahyu Allah swt, mereka mengatakan al-Qur’an itu buatan Muhammad saw, namun al-Qur’an menjawab keraguan dan peraduga mereka وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada Muhammad saw). (an-Najm 3-4) Kemudian ada juga yang mengatakan al-Qur’an tidak sesuai dengan perkembangan zaman, penulis rasa kata-kata seperti itu hanyalah kata-kata yang mengada-ngada karena kenyataannya al-Qur’an sampai detik ini sejalan dengan ilmu pengetahuan modern, akan tetapi al-Qur’an sendiri tidak pernah memaksa seseorang secara otoriter untuk percaya kepada al-Qur’an atau beriman, karena yang benar itu sudah jelas dan yang salah itu juga sudah nyata. وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُر Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." (al-Kahfi: 29) Bila kita lihat dari sisi historis, sebelum Islam muncul ke permukaan, orang-orang pada saat itu semuanya telah sependapat bahwa Muhammad saw adalah orang yang terpercaya, jujur, baik tingkah laku dan tutur katanya, dan sudah maklum orang-orang pada saat itu mengetahui bahwa Muhammad saw adalah orang yang ummy, yakni tidak pandai baca tulis, bagaimana mungkin seseorang yang tidak pandai baca tulis mengetahui sejarah-sejarah pada masa lalu, dan peristiwa-peristiwa di masa yang akan datang, dan mengetahui konsep-konsep ilmiah yang baru bisa dibuktikan oleh ilmuan modern saat itu. Al-Qur’an dan Orang-Orang Islam Di awal penulis telah menyebutkan bahwa sejatinya al-Qur’an itu telah menyatu dan berada didalam dada orang-orang yang beriman, al-Qur’an itu selalu terjaga dan tidak akan pernah musnah sampai akhir zaman, hal ini Terbukti dengan adanya para penghafal al-Qur’an sampai sekarang di semua penjuru dunia ini. بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآَيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُون Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (al-Ankabut: 49). Namun ada beberapa hal yang penulis masih sayangkan, adalah umat islam sampai saat ini masih terbelakang di segala bidang, padahal kita sebenarnya mempunyai banyak sekali potensi yang tidak dimiliki oleh umat beragama lain, bila kita menengok kebelakang pada masa keemasan Islam, disana Ilmu berkembang pesat dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ilmu itu akan melahirkan penemuan-penemuan yang membuat masyarakat bekembang dan maju, termasuk kesejahteraan ekonomi dan intelektualnya. Penulis rasa, yang membuat umat ini begitu terpuruk adalah karena tidak sepenuhnya berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw., dalam kehidupan. Pada masa Nabi saw., al-Qur’an berada di depan akal dan ego kaum muslim, sekarang sebaliknya, al-Qur’an berada di belakang. Alhamdulillah, memang, banyak yang membacanya akan tetapi al-Qur’an diturunkan bukan sekedar untuk dibaca melainkan untuk dipahami dan diamalkan isi kandungannya. Hasbunallah, Wallahu a’lam.

ISLAM DAN SENI

Islam adalah agama yang mencintai keindahan dan mendambakan terwujudnya keteraturan dan harmoni dalam berbagai hal. Inilah sebenarnya hakikat islam yang pernah ditengarai Nabi saw. Dalam sebuah sabdanya “sesungguhnya Allah Maha indah, mencintai keindahan”. Seni pada hakekatnya adalah kreasi-kreasi keindahan yang tak pernah ditentang islam. Namun demikian, tampaknya harus segera ditegaskan bahwa islam memang lebih memperioritaskan prinsip moralitas dari sekedar prinsip keindahan. Dengan kata lain, kreasi-kreasi artistik dan estetik harus dikaitkan dengan, dan berada di bawah kendali, etika dan moral. Inilah sebenarnya sikap dasar Islam terhadap berbagai bentuk kesenian. Standar islam dalam menilai berbagai karya seni sebenarnya dapat diformulasikan dalam sebuah kaidah : “seni yang baik adalah baik, seni yang buruk adalah buruk”. Al-Qur’an-memiliki ayat-ayatnya yang cukup banyak- kerap kali mengajak pembacanya untuk memerhatikan keindahan alam raya dengan segala keteraturan dan keserasiannya. Alam raya adalah kreasi Sang Maha indah yang tak pelak telah merefleksikan keindahan dan kesempurnaan penciptanya. Alam raya memang lebih dari sekedar pesona keindahan yang menimbulkan decak kagum mereka yang mengamatinya. Jika demikian halnya perintah al-Qur’an untuk mengamati keindahan alam menjadi mustahil bila islam dianggap memusuhi keindahan karya-karya seni dan kesenian. Islam sama sekali tidak menolak karya-karya seni dan kreasi-kreasi kesenian yang luhur. Yang ditolak oleh islam adalah karya seni picisan yang rendah lagi amoral. Dari penjelasan di atas, jelaslah kiranya bahwa tak ada alasan bagi islam untuk menolak suatu karya seni yang menimbulkan kedamaian pikiran, mengasah kelembutan hati, serta melatih sensitivitas perasaan. Tetapi seni yang keluar dari tujuan luhurnya, yang sengaja membangkitkan selera rendah birahi manusia, adalah suatu karya destruktif yang akan meluluhlantakkan kehidupan dan bangunan peradaban umat manusia. Karya-karya yang berselera rendah dan amoral sebenarnya tidak layak disebut sebagai seni, tetapi lebih tepat disebut sebagai kejahilan hedonistik yang harus ditolak. Musik dan lagu yang diaransemen dengan apik, lirik yang baik, nada yang asyik dengan dukungan karakter vokal yang kuat dan merdu, tentu tidak akan ditolak oleh islam, selama musik dan lagu itu mengindahkan prinsip-prinsip kepatutan dan moralitas. Nabi Muhammad saw pernah memuji suara merdu Abu Musa al-‘Asy’ari yang tengah menyenandungkan ayat-ayat al-Qur’an. Nabi juga memilih suara mereka yang bersuara nyaring dan merdu untuk mengumandangkan azan. Bahkan Nabi saw pernah mendengar suara genderang ditabuh dan seruling mendayu-dayu tanpa merasa sungkan. Suatu ketika, di hari raya, Abu Bakar menyaksikan putrinya yang juga menjadi istri Nabi, Aisyah, tengah mendengarkan dua sahaya perempuannya bernyanyi sambil diiringi tabuhan gendang. Menyaksikan hal itu, Abu Bakar melarang Aisyah mendengarkan nyanyian dua sahayanya itu. Namun Nabi saw menolak keberatan Abu Bakat itu seraya berkata “biarkanlah kedua sahaya melakukan hal itu, wahai abu bakar. Sesungguhnya hari ini adalah hari raya”. Nabi saw bahkan pernah meminta Aisyah untuk mengutus seseorang yang dapat bernyanyi untuk suatu resepsi perkawinan salah seorang kerabatnya. Hadits-hadits yang berkaitan dengan diperbolehkannya musik dan lagu sebenarnya cukup banyak. Kesemua riwayat itu menjelaskan, bahwa lagu dan musik bukanlah dua hal yang dilarang dalam islam, selama keduanya tidak mengandung kemungkaran-kemungkaran amoral yang ditentang islam.

MUJTAHID dan TERORISME

Lengkaplah sudah kesedihan hati umat islam. Setelah mereka dituduh teroris dan dan islam dituduh sebagai agama terorisme, kini ada tuduhan baru bahwa terjemah al-Qur’an terbitan kementrian agama adalah pemicu terorisme. Tuduhan ini selangkah lagi dapat dibaca, al-Qur’an adalah pemicu terorisme. Konon, orang-orang yang dituduh teroris yang mengusung isu agama tidak tahu bahasa arab. Mereka hanya mampu membaca terjemah al-Qur’an dalam bahasa indonesia. Dari karya terjemah itu, mereka melakukan ijtihad (penggalian hukum islam) kemudian berjihad (melakukan teror) dan jadilah dia teroris. Salah satu ayat al-Qur’an yang terjemahnya dituding sebagai pemicu terorisme adalah surah al-Baqarah ayat 191. “dan bunuhlah mereka dimanapun kamu jumpai mereka”. Menurut tuduhan itu, terjemah ayat ini telah memicu terorisme. Pengakuan orang-orang yang dituduh teroris, mereka menerapkan teror karena menerapkan ayat tersebut. Sementara orang yang sudah taubat sebagai teroris mengatakan bahwa ia tidak dapat menyalahkan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dituduh teroris karena menurutnya ia telah melakukan ijtiha. Dalam ilmu ushul fiqih, terdapat syarat-syarat yang sangat ketat bagi orang yang akan berijtihad. Dia harus menguasai bahasa arab, ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits, ushul fiqih dll. Seseorang yang tidak memiliki keahlian untuk berijtihad, tidak dibenarkan melakukan ijtihad. Dia wajib bertanya kepada orang yang tahu tentang agama islam. Orang yang tahu ilmu tafsir akan memahami bahwa ayat di atas itu tidak menjadi pemicu terorisme karena ayat tersebut tidak dapat dilepaskan dari ayat sebelumnya, yaitu surah al-Baqarah ayat 190. Isi surah al-Baqarah ayat 190-191 itu adalah dalam konteks perang. Kita diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi kita. Dimana saja kita jumpai mereka, maka orang-orang yang memerangi kita itu wajib kita bunuh. Tetapi, kita dilarang untuk memerangi orang-orang yang tidak memerangi kita. Apabila kaum zionis memerangi orang islam di palestina, maka orang yahudi yang tidak terlibat lansung dalam perang seperti orang yahudi yang diluar palestina tidak boleh kita perangi. Apabila kita mau memerangi orang-orang yahudi, kita harus pergi ke palestina dan bergabung dengan kaum muslim disana untuk memerangi orang-orang yahudi yang memerangi orang-orang islam. Terjemah al-Qur’an itu tidak salah, apalagi ayat yang diterjemahkan. Dalam terjemah versi bahasa inggris yang diterbitkan oleh pemerintah arab saudi, surah al-Baqarah 191 itu diterjemahkan, ‘and kill them wherever you find them”. Begitu pula dalam terjemah bahasa lain. Semangat yang menggebu-gebu untuk kembali kepada al-Qur’an dengan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya dan menutup pintu taqlid serapat-rapatnya telah menyebabkan semua orang melakukan ijtihad. Mereka tidak mau membaca ilmu tafsir, ilmu hadits, ushul fiqih dan lainnya, karena hal itu dianggap taqlid kepada ulama. Dan perilaku seperti itu bisa melahirkan ahli hukum (mujtahid) dan pemikir yang keliru.